Sore ini begitu hangat. Terdengar dari langkah kami yang
menggebu badan jalan. Dan irama tawa kami yang menggetarkan suasana. Semangat
kami menghalau teriknya mentari di ufuk penghabisan. Namun, hanya Ucen yang tak
tersentuh euforia. Bagaimana tidak, selepas asar ini, namanya akan terpanggil
sebagai peserta lomba Adzan di masjid desa. Sehingga, Ucen terlihat sangat
gugup. Nampaknya, sekeras apapun kami meyakinkan padanya bahwa ia pasti bisa,
sama sekali tidak menghilangkan ketidakpercayaan diri dan rasa gugup yang
selalu menyelimutinya, setiap kali ia diminta maju menjawab pertanyaan guru di
hadapan kelas, atau terlebih lagi dihadapkan pada lomba seperti ini.
“Sudahlah
Cen, kamu tidak perlu gugup seperti itu. Kami yakin kamu pasti bisa, dan kamu
juga harus yakin pada dirimu sendiri Cen, kamu berbakat Cen! Buktikanlah itu!”
seruku setiap kali kulihat Ucen merasa gugup.
“Bukan itu saja Cen. Kamu kan sudah berlatih seminggu ini. Dan setiap kali Pak Ustad melihatmu berlatih, kamu sangat hebat.” Pak Ustad yang melatih Ucen pun turut menyemangati. Ucen hanya tersenyum dan mengangguk. Walau.. rasa gugup itu tak akan pergi sebelum ia menyelesaikan penampilannya, yang barangkali, telah membayangi dan membuatnya gugup sebelum tampil.
“Bukan itu saja Cen. Kamu kan sudah berlatih seminggu ini. Dan setiap kali Pak Ustad melihatmu berlatih, kamu sangat hebat.” Pak Ustad yang melatih Ucen pun turut menyemangati. Ucen hanya tersenyum dan mengangguk. Walau.. rasa gugup itu tak akan pergi sebelum ia menyelesaikan penampilannya, yang barangkali, telah membayangi dan membuatnya gugup sebelum tampil.
“Pak Ustad,
Ipeh, Iyoh, Mad kita duduk di sini aja!” sontak kami semua setibanya di
pelataran masjid, kami berebut posisi duduk di atas karpet pelataran masjid
yang sudah disiapkan.
Pak Ustad memegang pundak Ucen, “Ucen kamu harus semangat. Kamu pasti bisa. Pak Ustad yakin sekali. Sekarang tunggulah di belakang panggung.” Selalu seperti itu, bahkan jelas sekali kecemasan Ucen yang menjadi-jadi di detik-detik perlombaaan.
Pak Ustad memegang pundak Ucen, “Ucen kamu harus semangat. Kamu pasti bisa. Pak Ustad yakin sekali. Sekarang tunggulah di belakang panggung.” Selalu seperti itu, bahkan jelas sekali kecemasan Ucen yang menjadi-jadi di detik-detik perlombaaan.
Lomba Adzan dimulai. Inilah pertandingan antar pengajian di
desa kami yang diselenggarakan setiap menjelang Ramadhan. Sangat menarik. Siapa
pun yang menang dalam perlombaan ini pasti akan membawa kebanggaan bagi majelis
pengajiannya. Aku sangat ingin bisa mengikuti lomba ini. Tetapi, aku lebih
mempercayai Ucen untuk mewakili pengajian kami dalam kompetisi ini. Karena,
sebenarnya Ucen mampu melantunkan Adzan dengan merdu, hanya saja dia tidak
percaya diri. Tak mengapa, kami selalu mendukung dan berusaha menyemangatinya.
Beberapa peserta sudah tampil dan kini, giliran Ucen. Aku
lihat ia berjalan naik ke panggung dengan lucu. Bibirnya komat-kamit tidak
jelas, seperti layaknya berdoa ketakutan, matanya juga sedikit terpejam. Meski,
kegugupan selalu datang di saat dia seperti ini, tapi itu tak masalah, karena
sekarang inilah dia, “Uceeen!” Tepuk tangan dan sorak sorai kami mengiringi
Ucen untuk memulai, sekaligus sedikit menepis keraguan dan gelak tawa penonton
yang lain saat melihat tingkah Ucen yang aneh.
“Allahu
akbar Allaaaaahhhu Akbar. Allaaaaahuu akbar Allaaaahhhu akbar..”
Benar saja, lantunan Adzan itu merdu sekali. Sama seperti pertama kali aku mendengarnya ke luar dari mulut Ucen. Bahkan lebih bagus dari yang pertama kali ku dengar.
Benar saja, lantunan Adzan itu merdu sekali. Sama seperti pertama kali aku mendengarnya ke luar dari mulut Ucen. Bahkan lebih bagus dari yang pertama kali ku dengar.
Kala itu. Sore yang hangat, begitu terasa menyelimuti di
dalam musala kecil di tengah pematang sawah. Semua murid larut dalam keceriaan.
Tawa dan canda kami seolah berirama. Kecuali Ucen. Walau satu per satu dari
kami akan dipanggil namanya untuk melantunkan Adzan seperti yang Pak ustad
minta, bagi kami tak ada kesulitan yang dirasa, itu mudah saja kami lakukan,
dibandingkan diminta melafalkan kembali hafalan surah-surah Juz Amma yang
terkadang harus merem-melek saat menghafalkannya. Karena adzan sudah seperti
keahlian dasar yang dimiliki anak laki-laki di desa kami.
Paling seru adalah ketika salah satu dari kami dipanggil
untuk maju melantunkan adzan, maka seketika itu juga, tepuk tangan kami semua
bergemuruh, dan kami semua bersorak semangat. Tetapi, ternyata tidak semua.
Hanya Ucen. Yang diam dan memisahkan diri. Dia seperti terlarut dalam
keseriusan yang berlebihan, ataukah ia gugup? Ketika namanya dipanggil, sorakan
heboh yang mengiringi tergantikan dengan gelak tawa, karena tingkahnya sangat
lucu. Bibirnya komat-kamit dan wajahnya menunduk. Tetapi itu pun sama sekali
tak membuatnya larut, ia masih tertunduk nampak sekilas tegang.
Aku bingung, apa yang membuatnya gugup seperti itu? Melihat
tingkahnya, siapa pun yang melihat, tak akan percaya kalau dia bisa, pikirku
saat itu. Lantas siapa yang menduga, ternyata, aku benar-benar salah. Ucen
sungguh luar biasa. Ia melantunkan Adzan dengan istimewa, nyaris sama seperti
yang dicontohkan pak ustad atau adzan yang dikumandangkan di tv setiap maghrib
tiba. Ucen berhasil melarutkan kami semua dalam keheningan. Bahkan sampai tak
ada bosan mendengarkan. Hingga lafal adzan terakhir, kami dibuat tertegun.
Bahkan pak Ustad juga ikut dibuat tercengang. Ia kembali ke
tempat semula. Duduk dengan santai, seolah ia telah membuang semua beban,
sedangkan kami merasakan sesuatu masih mengganjal di tenggorokan, seperti ingin
sekali menyorakkannya dengan bangga. Tetapi tidak. Tidak bisa, karena
semestinya subhanaallah yang terlontar pada ketakjuban seperti ini. Sama
seperti saat ini, kami kembali dibuat tertegun dan berdecak kagum dengan haru.
Para juri hampir diam tanpa komentar kecuali subhanallah yang terlontar.
Pemenang lomba akan segera diumumkan. Kami semua larut dalam
kecemasan, berharap Ucenlah yang akan dipanggil sebagai pemenang. Namun, Ucen
yang duduk di sampingku seusai tampil tadi, terlihat berbeda. Ia tidak cemas
layaknya kami yang mengharap piala itu bisa sampai diletakkan di lemari usang
musala sebagai pemanis di sudut ruang. Ku tanya dia, kenapa? Ia hanya menjawab
santai, “Aku tidak butuh menang. Menghilangkan rasa gugup itu dengan tampil
baik sudah cukup. Walau aku juga menginginkan lebih. Menang menjadi berharga
bagiku. Tapi tak akan bisa diraih tanpa Pak Ustad…” Ia menghela napas dan
tersenyum.
“dan juga
teman-teman semua yang membuat ini semua sungguh berarti bagiku.” kami semua
ikut tersenyum mendengarnya.
“pemenang lomba adzan tahun ini adalah Uceennn!”
“Ucen kamu menang Cen, Alhamdulillah..”
“pemenang lomba adzan tahun ini adalah Uceennn!”
“Ucen kamu menang Cen, Alhamdulillah..”
Kami semua sangat bersyukur dan bangga padanya. Ucen
memenangkan perlombaan. Sukses membuat orang-orang yang sebelumnya
menertawakannya menjadi tercengang dan takjub padanya. Semua orang bersorak
bangga. Decak kagum dan tepukan tangan tak surut tertuju pada Ucen. Bahkan
lebih dari waktu itu, di musala. Semua orang harus tahu, seolah itulah makna
dari ini semua. Semua orang harus tahu. Bahwa setiap dari kita pasti punya
kemampuan yang lebih besar dari yang hanya orang lain katakan. Dan biarlah rasa
takut itu mendorong kita untuk semakin besar berkembang hingga bisa melawan
ketakutan itu.
Cerpen
Karangan: Elmira Fay
Blog: elmirafairuz26.blogdetik.com
Blog: elmirafairuz26.blogdetik.com
0 comments:
Post a Comment