Saturday, December 26, 2015

DI SENJA UFUK PENGHABISAN ITU



Sore ini begitu hangat. Terdengar dari langkah kami yang menggebu badan jalan. Dan irama tawa kami yang menggetarkan suasana. Semangat kami menghalau teriknya mentari di ufuk penghabisan. Namun, hanya Ucen yang tak tersentuh euforia. Bagaimana tidak, selepas asar ini, namanya akan terpanggil sebagai peserta lomba Adzan di masjid desa. Sehingga, Ucen terlihat sangat gugup. Nampaknya, sekeras apapun kami meyakinkan padanya bahwa ia pasti bisa, sama sekali tidak menghilangkan ketidakpercayaan diri dan rasa gugup yang selalu menyelimutinya, setiap kali ia diminta maju menjawab pertanyaan guru di hadapan kelas, atau terlebih lagi dihadapkan pada lomba seperti ini.
“Sudahlah Cen, kamu tidak perlu gugup seperti itu. Kami yakin kamu pasti bisa, dan kamu juga harus yakin pada dirimu sendiri Cen, kamu berbakat Cen! Buktikanlah itu!” seruku setiap kali kulihat Ucen merasa gugup.
“Bukan itu saja Cen. Kamu kan sudah berlatih seminggu ini. Dan setiap kali Pak Ustad melihatmu berlatih, kamu sangat hebat.” Pak Ustad yang melatih Ucen pun turut menyemangati. Ucen hanya tersenyum dan mengangguk. Walau.. rasa gugup itu tak akan pergi sebelum ia menyelesaikan penampilannya, yang barangkali, telah membayangi dan membuatnya gugup sebelum tampil.
“Pak Ustad, Ipeh, Iyoh, Mad kita duduk di sini aja!” sontak kami semua setibanya di pelataran masjid, kami berebut posisi duduk di atas karpet pelataran masjid yang sudah disiapkan.
Pak Ustad memegang pundak Ucen, “Ucen kamu harus semangat. Kamu pasti bisa. Pak Ustad yakin sekali. Sekarang tunggulah di belakang panggung.” Selalu seperti itu, bahkan jelas sekali kecemasan Ucen yang menjadi-jadi di detik-detik perlombaaan.
Lomba Adzan dimulai. Inilah pertandingan antar pengajian di desa kami yang diselenggarakan setiap menjelang Ramadhan. Sangat menarik. Siapa pun yang menang dalam perlombaan ini pasti akan membawa kebanggaan bagi majelis pengajiannya. Aku sangat ingin bisa mengikuti lomba ini. Tetapi, aku lebih mempercayai Ucen untuk mewakili pengajian kami dalam kompetisi ini. Karena, sebenarnya Ucen mampu melantunkan Adzan dengan merdu, hanya saja dia tidak percaya diri. Tak mengapa, kami selalu mendukung dan berusaha menyemangatinya.
Beberapa peserta sudah tampil dan kini, giliran Ucen. Aku lihat ia berjalan naik ke panggung dengan lucu. Bibirnya komat-kamit tidak jelas, seperti layaknya berdoa ketakutan, matanya juga sedikit terpejam. Meski, kegugupan selalu datang di saat dia seperti ini, tapi itu tak masalah, karena sekarang inilah dia, “Uceeen!” Tepuk tangan dan sorak sorai kami mengiringi Ucen untuk memulai, sekaligus sedikit menepis keraguan dan gelak tawa penonton yang lain saat melihat tingkah Ucen yang aneh.
“Allahu akbar Allaaaaahhhu Akbar. Allaaaaahuu akbar Allaaaahhhu akbar..”
Benar saja, lantunan Adzan itu merdu sekali. Sama seperti pertama kali aku mendengarnya ke luar dari mulut Ucen. Bahkan lebih bagus dari yang pertama kali ku dengar.
Kala itu. Sore yang hangat, begitu terasa menyelimuti di dalam musala kecil di tengah pematang sawah. Semua murid larut dalam keceriaan. Tawa dan canda kami seolah berirama. Kecuali Ucen. Walau satu per satu dari kami akan dipanggil namanya untuk melantunkan Adzan seperti yang Pak ustad minta, bagi kami tak ada kesulitan yang dirasa, itu mudah saja kami lakukan, dibandingkan diminta melafalkan kembali hafalan surah-surah Juz Amma yang terkadang harus merem-melek saat menghafalkannya. Karena adzan sudah seperti keahlian dasar yang dimiliki anak laki-laki di desa kami.
Paling seru adalah ketika salah satu dari kami dipanggil untuk maju melantunkan adzan, maka seketika itu juga, tepuk tangan kami semua bergemuruh, dan kami semua bersorak semangat. Tetapi, ternyata tidak semua. Hanya Ucen. Yang diam dan memisahkan diri. Dia seperti terlarut dalam keseriusan yang berlebihan, ataukah ia gugup? Ketika namanya dipanggil, sorakan heboh yang mengiringi tergantikan dengan gelak tawa, karena tingkahnya sangat lucu. Bibirnya komat-kamit dan wajahnya menunduk. Tetapi itu pun sama sekali tak membuatnya larut, ia masih tertunduk nampak sekilas tegang.
Aku bingung, apa yang membuatnya gugup seperti itu? Melihat tingkahnya, siapa pun yang melihat, tak akan percaya kalau dia bisa, pikirku saat itu. Lantas siapa yang menduga, ternyata, aku benar-benar salah. Ucen sungguh luar biasa. Ia melantunkan Adzan dengan istimewa, nyaris sama seperti yang dicontohkan pak ustad atau adzan yang dikumandangkan di tv setiap maghrib tiba. Ucen berhasil melarutkan kami semua dalam keheningan. Bahkan sampai tak ada bosan mendengarkan. Hingga lafal adzan terakhir, kami dibuat tertegun.
Bahkan pak Ustad juga ikut dibuat tercengang. Ia kembali ke tempat semula. Duduk dengan santai, seolah ia telah membuang semua beban, sedangkan kami merasakan sesuatu masih mengganjal di tenggorokan, seperti ingin sekali menyorakkannya dengan bangga. Tetapi tidak. Tidak bisa, karena semestinya subhanaallah yang terlontar pada ketakjuban seperti ini. Sama seperti saat ini, kami kembali dibuat tertegun dan berdecak kagum dengan haru. Para juri hampir diam tanpa komentar kecuali subhanallah yang terlontar.
Pemenang lomba akan segera diumumkan. Kami semua larut dalam kecemasan, berharap Ucenlah yang akan dipanggil sebagai pemenang. Namun, Ucen yang duduk di sampingku seusai tampil tadi, terlihat berbeda. Ia tidak cemas layaknya kami yang mengharap piala itu bisa sampai diletakkan di lemari usang musala sebagai pemanis di sudut ruang. Ku tanya dia, kenapa? Ia hanya menjawab santai, “Aku tidak butuh menang. Menghilangkan rasa gugup itu dengan tampil baik sudah cukup. Walau aku juga menginginkan lebih. Menang menjadi berharga bagiku. Tapi tak akan bisa diraih tanpa Pak Ustad…” Ia menghela napas dan tersenyum.
“dan juga teman-teman semua yang membuat ini semua sungguh berarti bagiku.” kami semua ikut tersenyum mendengarnya.
“pemenang lomba adzan tahun ini adalah Uceennn!”
“Ucen kamu menang Cen, Alhamdulillah..”
Kami semua sangat bersyukur dan bangga padanya. Ucen memenangkan perlombaan. Sukses membuat orang-orang yang sebelumnya menertawakannya menjadi tercengang dan takjub padanya. Semua orang bersorak bangga. Decak kagum dan tepukan tangan tak surut tertuju pada Ucen. Bahkan lebih dari waktu itu, di musala. Semua orang harus tahu, seolah itulah makna dari ini semua. Semua orang harus tahu. Bahwa setiap dari kita pasti punya kemampuan yang lebih besar dari yang hanya orang lain katakan. Dan biarlah rasa takut itu mendorong kita untuk semakin besar berkembang hingga bisa melawan ketakutan itu.


Cerpen Karangan: Elmira Fay
Blog: elmirafairuz26.blogdetik.com



0 comments:

Post a Comment

 
Ice Cream Blogger Template by Ipietoon Blogger Template