Saturday, December 26, 2015

SEPERTI SEPASANG MERPATI





         Langit menjadi kelabu. Awan hitam mulai tak mampu lagi membendung butiran air. Matahari pergi. Sinarnya pun tak berbekas. Di samping rumah Nada, nampak Dio masih asyik bermain dengan merpatinya. Nada tersenyum menatapnya dari balik jendela kamarnya. Ya, tetangganya itu memang sangat menyukai merpati. Bahkan di samping rumahnya ada sebuah kandang merpati yang cukup luas miliknya sendiri. Ia biasa menyebutnya istana Merpati Dara Dori. Begitu banyak jenis merpati yang ia piara. Semuanya sepasang. Ada merpati lokal, merpati kipas, merpati gondok, merpati Lahore, dan masih banyak lagi. Namun, di antara semua merpatinya, merpati lokal berwarna seputih saljulah yang paling ia sukai. Dara dan Dori.
“Dio!” Nada memanggil dengan setenngah berteriak ke arah pemuda manis bertubuh jangkung itu. Dio menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu sesaat. Meleburkan jarak beberapa meter yang memisahkan mereka.
“Iya, Nad. Ada apa?” Senyum manis menghiasi wajah Dio. Walaupun terlihat samar, namun Nada tahu betul kalau Dio sedang tersenyum ke arahnya. Nada merasa dirinya seolah terbang seperti seekor merpati. Bebas dan lepas.
“Sebentar lagi hujan. Kasihan tuh Dara sama Dori nggak kamu pulangin ke Istananya. Hehe.” Nada terkekeh.
“Iya, Nad. Sebentar lagi.” Senyum itu kembali mengembang. Menghangatkan.
Dio segera membawa sepasang merpati itu ke kandangnya. Tak berapa lama, hujan turun dengan derasnya. Sesekali terdengar gemuruh petir. Hal yang tidak disukai Nada dan Dio.



         Matahari bersinar cerah pagi ini. Tetesan embun terlihat melekat pada daun dan rumput. Kabut sudah hilang. Langit terlihat biru. Kumpulan awan berarak melintasi atap rumah mungil di pinggiran desa itu. Nada baru selesai jalan-jalan pagi. Sekarang ia tengah asyik duduk di ayunan yang bertumpu pada dahan pohon mangga di antara rumahnya dan Dio. Nada melamun menatap ke arah deretan bunga mawarnya. Ada beberapa yang mekar. Seperti hatinya, yang selalu mekar karena Dio.

Ku suka dirinya, Mungkin aku sayang
Namun apakah mungkin kau menjadi milikku
Kau pernah menjadi, Menjadi miliknya
Namun salahkah aku bila ku pendam rasa ini
Lagu itu mengalun pelan dalam benak Nada. Ia terbawa suasana karena mengingat Dio. Dio mampu mencuri hatinya, entah sejak kapan Nada pun tak mengerti. Hanya beberapa waktu terakhir dia merasa berarti bila ada di samping Dio. Mungkin sejak Dio hadir kembali dan mengobati luka hatinya. Mungkin.

         Sejak hatinya terluka, Nada lebih sering mengurung diri di kamarnya. Dia tak ingin sekadar ke luar rumah dan menyegarkan pikirannya dengan berjalan-jalan. Dia lebih senang di dalam kamarnya menghabiskan waktunya untuk membaca dan memainkan gitar. Rey, adalah orang yang tega melukai hati Nada. Dia menduakan ketulusan cinta Nada untuknya. Dia memilih perempuan lain dan meninggalkan Nada. Hingga sakit yang sangat dirasakan Nada sekarang. Sampai suatu ketika, ketika ia tengah duduk melamun di tepi tempat tidurnya, seekor merpati hinggap di jendela kamar Nada. Warnanya putih, seputih salju. Merpati itu cantik.

         Nada mengalihkan pandangannya dan mulai memperhatikan merpati itu. Ia tertarik. Sejenak, luka itu serasa menghilang. Didekatinya pelan merpati itu. Dia tersenyum, untuk pertama kalinya sejak Rey melukainya. Dia kemudian duduk di kursi dekat jendela itu, memperhatikan lebih seksama merpati yang tengah berjalan menyusuri jendela kamarnya itu. Tiba-tiba seekor merpati lain datang dan membawa biji jagung di paruhnya. Kemudian merpati itu memberikan biji jagung itu ke paruh merpati yang lain. Kemudian, mereka saling mematuk. Sepertinya itulah cara mereka saling menyayangi. Ya, mereka adalah sepasang merpati.
Tak lama pemilik merpati itu datang menghampiri jendela kamar Nada. Dia sedikit mengomel pada merpatinya yang terbang seenaknya sesaat setelah dikeluarkan dari kandang.

“Dara, Dori, nakal banget sih kalian.” Pemilik merpati itu pun menangkap sepasang merpati itu dalam genggamannya. Kemudian dimasukkannya ke kandang kecil yang ia jinjing. Nada kaget, ia melongokan kepalanya ke arah jendela.
“Hey, mau kamu bawa ke mana merpati-merpati itu?” Pemilik merpati itu menatap kaget ke arah Nada.
“Mau saya bawa pulang. Ini merpati milik saya.” Ucapnya ramah.
“Oh, itu punya kamu. Ku kira itu merpati liar yang tidak ada pemiliknya.” Nada kembali tertegun.
Benak Nada terusik. Sorot mata itu sepertinya pernah ia lihat sebelumnya. Tapi kapan dan di mana? Siapa? Ia ragu. Mungkin hanya perasaannya. Kemudian Nada mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Kamu siapa? Sepertinya aku belum pernah melihatmu.” Tanyanya pelan.
“Aku Dio. Kamu Nada ya?”
Nada sontak kaget, bagaimana mungkin dia tahu namanya?
“I..i..iya. Kamu tahu darimana?” Tanyanya gugup. Namun, dia malah tertawa.
“Kamu pasti lupa sama aku. Terakhir kita ketemu kan waktu ulang tahun kamu yang ketujuh. Aku yang memberimu hadiah seekor ulat bulu dalam stoples kaca sampai kamu nangis. Setelah itu aku pindah ke luar kota.”

         Memori Nada melayang jauh pada peristiwa sepuluh tahun silam. Ya, sekarang dia ingat siapa pemuda pemilik merpati ini. Dio Ananta. Anak laki-laki usil yang membuatnya menangis di hari istimewanya. Tentu saja ia tidak akan melupakan peristiwa itu.

“Kamu.. Dio Ananta? Yoyo?” Dio mengangguk. Mata Nada yang bulat terbelalak. Dia banyak berubah. Sekarang dia semakin jangkung. Dia tidak seusil dulu. Wajahnya terlihat semakin rupawan. Pikir Nada.
“Kamu lagi sakit Nad? Wajah kamu pucat banget. Rambut kamu acak-acakan pula. Tunggu dulu, mata kamu juga sembab. Oh, atau kamu–” Sebelum Dio menyelesaikan bicaranya, Nada buru-buru menyambar.
“Entahlah, mungkin sakit. Sakit hati. Aku sedih, yo. Aku pun tak tahu kenapa aku seperti ini.” Mata Nada menerawang jauh. Tanpa banyak alasan, Dio mampu mengerti apa yang dirasakan Nada.
“Jangan sedih, Nad. Keluar yuk. Aku tunjukin sesuatu.” Nada menatap Dio. Dio hanya tersenyum, namun Nada merasa itu sudah cukup meyakinkannya untuk ke luar dan menemui Dio. Ia bergegas membereskan penampilannya dan ke luar dari kamar mungilnya.
Dio menatap takjub ke arah Nada. Gadis berwajah oriental ini terlihat cantik dalam balutan dress selutut bermotif bunga mawar berukuran kecil berwarna biru langit, walaupun matanya sembab. Rambutnya yang hitam terurai panjang sebatas pinggang. Menambah kesan cantik dari dirinya walaupun hanya berbalut kesederhanaan.
“Dio, kok bengong?” Nada menatap bingung ke arahnya.
“Nggak, Nad. Yuk ikut aku.” Dio meraih tangan Nada.

         Dara dan Dori ada di dalam kandang yang ia jinjing di tangan satunya. Jantung Nada berdegup cepat. Nada bingung. Tapi ia tak menghiraukannya. Serasa kenangannya bersama Rey serta sakit hatinya perlahan pergi. Tertiup angin. Dio mengajaknya ke suatu tempat di samping rumahnya. Banyak rumah burung di sana.

“Ini dia, Istana Merpati Dara Dori.” Dio tersenyum lebar. Nada terkekeh. Nada takjub. Banyak merpati di sana.
“Indah sekali, yo. Sejak kapan ini ada di sini? Aku merasa belum pernah melihat ini sebelumnya.”
“Baru dua hari. Sejak aku pulang, aku memperbaiki tempat ini.” Dia tersenyum.
“Kamu sih, di dalam rumah terus. Sampai tetanggamu ini pulang kamu pun tak tahu. Hehe.” Dio terkekeh. Nada melirik Dio yang ada di sampingnya.
Sekarang Dio lebih tinggi dari Nada. Tinggi Nada hanya sebatas bahu Dio.
“Iya aku jarang banget ke luar rumah. Ke luar rumah cuma waktu ke sekolah aja.” Nada tersenyum. Selanjutnya mereka berbincang tentang kisah-kisah mereka selama mereka tidak bertemu.
Sejak saat itu lah mereka kembali akrab seperti dulu. Mendung yang selama ini menyelimuti Nada pun mulai memudar. Sedikit demi sedikit berubah kembali menjadi cerah.



         Nada memarkir sepedanya di garasi. Ketika itu sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis seorang perempuan dari rumah sebelah. Bu Asna, Ibu Dio. Ia menghentikan langkahnya sejenak, karena ia melihat Ayah Dio pergi dari rumah membawa ransel dan sebelum pergi beliau tak henti memaki-maki Bu Asna. Bukan hanya itu, beliau bahkan memukul Bu Asna dengan kasar hingga Bu Asna terhempas dan tersungkur di lantai. Setelah Ayah Dio jauh meninggalkan Bu Asna sendiri menahan pilu, Nada mencoba mendekati Bu Asna.

“Buk..” Nada menghampirinya. Berjongkok di dekat Bu Asna yang masih duduk di lantai. Bu Asna memeluk Nada.
“Ibu nggak kenapa-kenapa kan?” Tanyanya khawatir.
“Ibu baik-baik saja, Nak. Ayah Dio memang seperti itu. Ibu hanya berusaha menyadarkannya. Mencegahnya agar tidak terlalu jauh melangkah dalam kesesatan. Tapi, apalah daya, jika alkohol itu tengah meracuni otaknya.” Sejenak suasana menjadi hening. Kemudian Nada membantu Bu Asna beranjak dan membereskan kekacauan yang baru saja terjadi.
Dio terlihat murung. Di sudut kandang merpati itu, matanya menerawang menatap hampa. Ada guratan luka yang dalam tersirat dari sorot matanya. Nada menghampiri Dio. Menyapanya lembut.
“Dio.” Seulas senyum menghiasi wajah ayu Nada. Dio menatapnya. Dan ia pun membalasnya dengan senyum pula. Namun, tak seperti biasanya. Kali ini senyumnya dingin.
“Kamu jangan sedih, Dio.” Nada membelai lembut punggung Dio. “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kamu yang selalu ngajarin aku buat tegar dan menghadapi masalah dengan tenang. Sekarang kamu pun juga harus begitu. Jangan terlarut dalam amarah dan kesedihan. Kamu bisa bangkit, Dio.”
Dio meraih tubuh Nada. Memeluknya erat. Nada tersentak. Jantungnya berdetak begitu cepat. Namun, ia tak tahu alasan apa lagi yang bisa menjelaskan. Reflek tubuhnya justru malah membalas pelukan Dio. Nada larut dalam suasana itu.
“Aku akan selalu ada di sini buat kamu Dio. Seperti kamu yang selalu ada buat aku. Seperti kamu yang selalu menjadi pendengar setiaku dan menjadi orang bijak yang membantuku menyelesaikan sekeping demi sekeping masalahku.” Dio tetap diam dan tidak sedikit pun melepaskan pelukan itu.
Ya, Dio tidak harus bicara. Karena tanpa Dio bicara pun, Nada sudah mengerti apa yang Dio rasakan. Nada tak bisa menjelaskan, ketika jantung mereka berdetak bersama, seolah ada dimensi yang menjembataninya untuk bisa merasakan apa yang Dio rasakan.
Hari-hari berikutnya, Dio masih sering termenung, melamun. Dia enggan membicarakan apa pun tentang apa yang ia rasakan. Dia hanya lebih sering menghabiskan waktunya dalam Istana Dara Dori.
         Dia hanya berusaha tegar atau lebih tepatnya berusaha terlihat tegar di depan Nada.
“Hey, Dio. Lihat nih aku baru selesai nyoba resep pudding mangga. Kamu mau nyobain hasilnya?” Nada menghampiri Dio yang tengah memberi makan penghuni Istana Dara Dori.
“Oh iya, bawa sini biar aku mencobanya.” Dio tersenyum ke arah Nada. Kemudian Nada berlari ke rumahnya dan kembali dengan membawa sepiring pudding mangga buatannya.
“Aku nggak mau makan sendiri. Sama kamu, ya.” Dio masih tetap tersenyum. Senyum yang dingin. Dia tersenyum tapi sinar matanya redup. Dia tak sepenuhnya tersenyum. Hanya mencoba terlihat bahagia di depan Nada.
“Aku suapin ya.” Goda Nada. Dio mengangguk. Wajah Nada memerah, dia terdiam.
“Katanya mau nyuapin aku? Kok malah diam?”
“Eh.. ehm.. aduh.. aku kan cuma bercanda, Dio.” Nada gugup.
“Ayolah. Kamu udah terlanjur bilang loh.” Akhirnya Nada menyuapi Dio. Walaupun sebenarnya ia sangat gugup.
“Pudding buatan kamu enak, Nad.” Senyum Dio membingkai wajah manisnya. Kali ini senyumnya penuh ketulusan. Awan mendung di mata Dio hilang. Nada merasa sedikit lega. Dia bahagia mampu membuat Dio kembali ceria meskipun mungkin hanya sesaat.
“Sekarang, ganti aku yang nyuapin kamu.” Dio mengambil sendok di tangan Nada dan mulai mengambil sepotong pudding dengan sendoknya. Kemudian mengarahkannya ke mulut Nada.
“Eh..” Nada hanya diam dan menurut.



“Nada, minggu depan kita harus pindah ke Jogjakarta. Ayah dipindah tugaskan di sana.” Bagaikan petir di siang bolong menyambar Nada yang seketika itu langsung diam mematung.
“Kenapa mendadak, Bunda? Nada senang tinggal di sini. Apa Nada tidak bisa tetap tinggal di sini? Sekolah Nada gimana?”
“Tidak bisa, sayang. Kamu mau tinggal sama siapa di sini? Masalah sekolah, semua sudah diurus Ayah. Kamu hanya tinggal mengemasi barang-barangmu.” Nada terdiam. Tak mungkin mampu ia membantah. Minggu depan ia harus meninggalkan tempat ini. Tepat di hari ulang tahun Dio yang ke-18. Terasa berat untuknya meninggalkan tempat ini. Terlalu banyak kenangan yang terukir. Semakin terasa berat ketika harus meninggalkan Dio.

         Beberapa hari ini Dio tidak pernah terlihat. Kata Bu Asna, dia tengah berada di rumah bibinya yang selama ini merawatnya. Bibinya sakit keras. Dia tidak memiliki seorang pun anak. Diolah yang selama ini ia anggap sebagai anaknya. Oleh karena itu, bibinya meminta Dio menemani beliau sekarang. Hari berganti dengan cepat. Besok Nada harus pergi. Namun, sosok Dio masih belum muncul bagai hilang ditelan bumi. Nada merasa tersiksa. Dia ingin bertemu Dio, menyampaikan bahwa ia harus pergi. Namun, Dio tiada muncul. Akhirnya, malam itu juga Nada memutuskan untuk menulis sebuah surat, merekam sebuah lagu dan membuat sepiring pudding mangga untuk Dio. Sebagai hadiah ulang tahun serta tanda perpisahan mereka. Ya, mungkin perpisahan.

         Hari masih pagi. Kabut tebal masih menyelimuti. Udara dingin menusuk kulit. Nada meletakkan sebuah kotak berbungkus kertas warna biru langit dengan motif bintang di ayunan di antara rumahnya dan rumah Dio. Entah mengapa Nada sangat yakin nanti Dio akan pulang dan menemukan kotak itu.

“Selamat Ulang Tahun, Dio.” Air mata Nada meleleh membasahi pipinya. Disekanya air mata itu dengan sapu tangan berwarna putih dengan hiasan sulaman namanya dengan benang warna biru laut di salah satu sudut sapu tangan itu. Nada Pratiwi. Ia yang menyulamnya sendiri.
“Nada, ayo cepat Nak.” Suara Ayah memecahkan kepiluan di hati Nada. Untuk terakhir kalinya ia melihat kotak itu.
“Selamat Tinggal, Dio. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Nada bergegas menuju mobil yang akan membawanya ke Jogjakarta. Tanpa sadar, ketika ia terburu-buru berlari menuju mobil, ia menjatuhkan sapu tangannya tak jauh dari tempatnya meletakkan kotak itu.



         Sesampainya di rumah, Dio segera bergegas menuju rumah Nada. Diketuknya pintu rumah Nada berkali-kali.
“Nada.. Nada..” Namun, tak ada jawaban. Rumah itu sepi tak berpenghuni. Dio yang kecewa, berjalan menjauhi rumah itu. Dia menyesal meninggalkan Nada begitu saja dan begitu lama. Tanpa pamit dan tanpa kabar. Hingga akhirnya sekarang Nadalah yang menghilang.
Dio berjalan menuju ayunan di antara rumah mereka. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kotak berbungkus kertas biru bermotif bintang. Dio menghampiri kotak itu. Di atas kotak itu ada selembar kertas bertuliskan “Untuk Dio”.
“Nada. Tidak salah lagi, ini pasti dari Nada. Nada pasti sedang membuat kejutan untuknya,” pikir Dio. Ketika ia membuka kotak itu terlihat sebuah pudding mangga, sebuah kaset dan sepucuk surat di dalamnya. Yang pertama kali ia buka adalah sepucuk surat yang ditulis dalam kertas berwarna biru langit.
“Dear Dio,
Selamat Ulang Tahun, Dio Ananta. Semoga di ulang tahunmu yang ke-18 ini kamu menjadi Dio yang lebih dewasa. Menjadi Dio yang lebih tegar. Dan menjadi Dio yang selalu ceria. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu, Dio. Semoga pudding mangga itu bisa menjadi kue ulang tahun teraneh yang kamu dapat, ya. Hehehe. Dio, sebenarnya kamu ke mana? Kamu pergi tanpa pamit, tanpa kabar. Aku mengkhawatirkanmu. Setiap hari aku menunggumu pulang. Aku rindu kamu Dio. Aku rindu bercanda bersamamu. Menghabiskan waktu bersamamu di Istana Dara Dori. Tapi, sudahlah. Aku tahu suatu saat kamu pasti kembali. Walaupun mungkin saat kamu kembali, akulah yang pergi.
Dio, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati perkataanku untuk selalu menjadi pendengar setiamu. Untuk selalu menemanimu dalam sukamu maupun dukamu. Untuk selalu memelukmu ketika kamu rapuh. Untuk menjadi orang bijak yang membantumu menyelesaikan setiap keping masalahmu yang mungkin tak pernah kamu bagi denganku. Dio, pesanku.. Anggaplah setiap masalah yang kamu alami tak lebih dari seujung kuku bila dibandingkan dengan masalah orang lain. Itulah cara kita bersyukur dengan cobaan yang kita hadapi. Tetap semangat Dio. Kamu tak pernah sendiri.
Maafkan aku.. Aku harus pergi meskipun sebenarnya aku tak ingin. Sedikitpun aku tak ingin jauh dari kamu. Kamu yang selalu memberiku semangat, membuatku tersenyum. Ada dalam setiap dukaku maupun sukaku. Pendengar setiaku. Tapi, aku tetap harus pergi. Ayah harus dinas di Jogjakarta. Aku tahu ini sangat mendadak. Dio, memang sekarang jarak dan waktu memisahkan kita. Namun, aku merasa tak pernah jauh darimu.. karena kamu.. selalu ada di hatiku. Entah sejak kapan ini berawal aku tak tahu. Dio.. aku sayang kamu.
Nada Pratiwi”

         Setitik air mata bersarang di pelupuk mata Dio. Mendesak ingin menetes. Namun, sebelum itu terjadi Dio sudah menyekanya. Bahagia. Sedih. Menyesal. Semua bercampur hingga tak ada satu kata pun terucap. Sebelum ia beranjak, ia menemukan sebuah sapu tangan dengan nama Nada Pratiwi. Digenggamnya erat. Dibawanya menuju rumah. Di rumah, ia langsung menuju kamarnya. Sesampainya di kamar. Ia memutar kaset dari kotak itu menggunakan radio tape. Terdengar suara Nada menyanyi dengan diiringi gitar.

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat lidahku gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu
Dan memaksa diri untuk bilang
Aku sayang padamu..
“Aku juga sayang kamu, Nad. Semoga kita bisa seperti sepasang merpati. Walaupun mereka dipisahkan dengan rentang jarak yang jauh, mereka pasti akan terbang dan bertemu kembali. Pasti.” Ucap Dio penuh kesungguhan. Dio yakin dia akan bertemu lagi dengan Nada suatu saat nanti. Begitu juga Nada. Mereka ibarat sepasang merpati.



Cerpen Karangan: Warastri Rezka Hardini
Blog: rezkahardini.blogspot.com
Facebook: Warastri Rezka Hardini



Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-romantis/seperti-sepasang-merpati.html

0 comments:

Post a Comment

 
Ice Cream Blogger Template by Ipietoon Blogger Template