Saturday, December 26, 2015

SEPERTI SEPASANG MERPATI





         Langit menjadi kelabu. Awan hitam mulai tak mampu lagi membendung butiran air. Matahari pergi. Sinarnya pun tak berbekas. Di samping rumah Nada, nampak Dio masih asyik bermain dengan merpatinya. Nada tersenyum menatapnya dari balik jendela kamarnya. Ya, tetangganya itu memang sangat menyukai merpati. Bahkan di samping rumahnya ada sebuah kandang merpati yang cukup luas miliknya sendiri. Ia biasa menyebutnya istana Merpati Dara Dori. Begitu banyak jenis merpati yang ia piara. Semuanya sepasang. Ada merpati lokal, merpati kipas, merpati gondok, merpati Lahore, dan masih banyak lagi. Namun, di antara semua merpatinya, merpati lokal berwarna seputih saljulah yang paling ia sukai. Dara dan Dori.
“Dio!” Nada memanggil dengan setenngah berteriak ke arah pemuda manis bertubuh jangkung itu. Dio menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu sesaat. Meleburkan jarak beberapa meter yang memisahkan mereka.
“Iya, Nad. Ada apa?” Senyum manis menghiasi wajah Dio. Walaupun terlihat samar, namun Nada tahu betul kalau Dio sedang tersenyum ke arahnya. Nada merasa dirinya seolah terbang seperti seekor merpati. Bebas dan lepas.
“Sebentar lagi hujan. Kasihan tuh Dara sama Dori nggak kamu pulangin ke Istananya. Hehe.” Nada terkekeh.
“Iya, Nad. Sebentar lagi.” Senyum itu kembali mengembang. Menghangatkan.
Dio segera membawa sepasang merpati itu ke kandangnya. Tak berapa lama, hujan turun dengan derasnya. Sesekali terdengar gemuruh petir. Hal yang tidak disukai Nada dan Dio.



         Matahari bersinar cerah pagi ini. Tetesan embun terlihat melekat pada daun dan rumput. Kabut sudah hilang. Langit terlihat biru. Kumpulan awan berarak melintasi atap rumah mungil di pinggiran desa itu. Nada baru selesai jalan-jalan pagi. Sekarang ia tengah asyik duduk di ayunan yang bertumpu pada dahan pohon mangga di antara rumahnya dan Dio. Nada melamun menatap ke arah deretan bunga mawarnya. Ada beberapa yang mekar. Seperti hatinya, yang selalu mekar karena Dio.

Ku suka dirinya, Mungkin aku sayang
Namun apakah mungkin kau menjadi milikku
Kau pernah menjadi, Menjadi miliknya
Namun salahkah aku bila ku pendam rasa ini
Lagu itu mengalun pelan dalam benak Nada. Ia terbawa suasana karena mengingat Dio. Dio mampu mencuri hatinya, entah sejak kapan Nada pun tak mengerti. Hanya beberapa waktu terakhir dia merasa berarti bila ada di samping Dio. Mungkin sejak Dio hadir kembali dan mengobati luka hatinya. Mungkin.

         Sejak hatinya terluka, Nada lebih sering mengurung diri di kamarnya. Dia tak ingin sekadar ke luar rumah dan menyegarkan pikirannya dengan berjalan-jalan. Dia lebih senang di dalam kamarnya menghabiskan waktunya untuk membaca dan memainkan gitar. Rey, adalah orang yang tega melukai hati Nada. Dia menduakan ketulusan cinta Nada untuknya. Dia memilih perempuan lain dan meninggalkan Nada. Hingga sakit yang sangat dirasakan Nada sekarang. Sampai suatu ketika, ketika ia tengah duduk melamun di tepi tempat tidurnya, seekor merpati hinggap di jendela kamar Nada. Warnanya putih, seputih salju. Merpati itu cantik.

         Nada mengalihkan pandangannya dan mulai memperhatikan merpati itu. Ia tertarik. Sejenak, luka itu serasa menghilang. Didekatinya pelan merpati itu. Dia tersenyum, untuk pertama kalinya sejak Rey melukainya. Dia kemudian duduk di kursi dekat jendela itu, memperhatikan lebih seksama merpati yang tengah berjalan menyusuri jendela kamarnya itu. Tiba-tiba seekor merpati lain datang dan membawa biji jagung di paruhnya. Kemudian merpati itu memberikan biji jagung itu ke paruh merpati yang lain. Kemudian, mereka saling mematuk. Sepertinya itulah cara mereka saling menyayangi. Ya, mereka adalah sepasang merpati.
Tak lama pemilik merpati itu datang menghampiri jendela kamar Nada. Dia sedikit mengomel pada merpatinya yang terbang seenaknya sesaat setelah dikeluarkan dari kandang.

“Dara, Dori, nakal banget sih kalian.” Pemilik merpati itu pun menangkap sepasang merpati itu dalam genggamannya. Kemudian dimasukkannya ke kandang kecil yang ia jinjing. Nada kaget, ia melongokan kepalanya ke arah jendela.
“Hey, mau kamu bawa ke mana merpati-merpati itu?” Pemilik merpati itu menatap kaget ke arah Nada.
“Mau saya bawa pulang. Ini merpati milik saya.” Ucapnya ramah.
“Oh, itu punya kamu. Ku kira itu merpati liar yang tidak ada pemiliknya.” Nada kembali tertegun.
Benak Nada terusik. Sorot mata itu sepertinya pernah ia lihat sebelumnya. Tapi kapan dan di mana? Siapa? Ia ragu. Mungkin hanya perasaannya. Kemudian Nada mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Kamu siapa? Sepertinya aku belum pernah melihatmu.” Tanyanya pelan.
“Aku Dio. Kamu Nada ya?”
Nada sontak kaget, bagaimana mungkin dia tahu namanya?
“I..i..iya. Kamu tahu darimana?” Tanyanya gugup. Namun, dia malah tertawa.
“Kamu pasti lupa sama aku. Terakhir kita ketemu kan waktu ulang tahun kamu yang ketujuh. Aku yang memberimu hadiah seekor ulat bulu dalam stoples kaca sampai kamu nangis. Setelah itu aku pindah ke luar kota.”

         Memori Nada melayang jauh pada peristiwa sepuluh tahun silam. Ya, sekarang dia ingat siapa pemuda pemilik merpati ini. Dio Ananta. Anak laki-laki usil yang membuatnya menangis di hari istimewanya. Tentu saja ia tidak akan melupakan peristiwa itu.

“Kamu.. Dio Ananta? Yoyo?” Dio mengangguk. Mata Nada yang bulat terbelalak. Dia banyak berubah. Sekarang dia semakin jangkung. Dia tidak seusil dulu. Wajahnya terlihat semakin rupawan. Pikir Nada.
“Kamu lagi sakit Nad? Wajah kamu pucat banget. Rambut kamu acak-acakan pula. Tunggu dulu, mata kamu juga sembab. Oh, atau kamu–” Sebelum Dio menyelesaikan bicaranya, Nada buru-buru menyambar.
“Entahlah, mungkin sakit. Sakit hati. Aku sedih, yo. Aku pun tak tahu kenapa aku seperti ini.” Mata Nada menerawang jauh. Tanpa banyak alasan, Dio mampu mengerti apa yang dirasakan Nada.
“Jangan sedih, Nad. Keluar yuk. Aku tunjukin sesuatu.” Nada menatap Dio. Dio hanya tersenyum, namun Nada merasa itu sudah cukup meyakinkannya untuk ke luar dan menemui Dio. Ia bergegas membereskan penampilannya dan ke luar dari kamar mungilnya.
Dio menatap takjub ke arah Nada. Gadis berwajah oriental ini terlihat cantik dalam balutan dress selutut bermotif bunga mawar berukuran kecil berwarna biru langit, walaupun matanya sembab. Rambutnya yang hitam terurai panjang sebatas pinggang. Menambah kesan cantik dari dirinya walaupun hanya berbalut kesederhanaan.
“Dio, kok bengong?” Nada menatap bingung ke arahnya.
“Nggak, Nad. Yuk ikut aku.” Dio meraih tangan Nada.

         Dara dan Dori ada di dalam kandang yang ia jinjing di tangan satunya. Jantung Nada berdegup cepat. Nada bingung. Tapi ia tak menghiraukannya. Serasa kenangannya bersama Rey serta sakit hatinya perlahan pergi. Tertiup angin. Dio mengajaknya ke suatu tempat di samping rumahnya. Banyak rumah burung di sana.

“Ini dia, Istana Merpati Dara Dori.” Dio tersenyum lebar. Nada terkekeh. Nada takjub. Banyak merpati di sana.
“Indah sekali, yo. Sejak kapan ini ada di sini? Aku merasa belum pernah melihat ini sebelumnya.”
“Baru dua hari. Sejak aku pulang, aku memperbaiki tempat ini.” Dia tersenyum.
“Kamu sih, di dalam rumah terus. Sampai tetanggamu ini pulang kamu pun tak tahu. Hehe.” Dio terkekeh. Nada melirik Dio yang ada di sampingnya.
Sekarang Dio lebih tinggi dari Nada. Tinggi Nada hanya sebatas bahu Dio.
“Iya aku jarang banget ke luar rumah. Ke luar rumah cuma waktu ke sekolah aja.” Nada tersenyum. Selanjutnya mereka berbincang tentang kisah-kisah mereka selama mereka tidak bertemu.
Sejak saat itu lah mereka kembali akrab seperti dulu. Mendung yang selama ini menyelimuti Nada pun mulai memudar. Sedikit demi sedikit berubah kembali menjadi cerah.



         Nada memarkir sepedanya di garasi. Ketika itu sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis seorang perempuan dari rumah sebelah. Bu Asna, Ibu Dio. Ia menghentikan langkahnya sejenak, karena ia melihat Ayah Dio pergi dari rumah membawa ransel dan sebelum pergi beliau tak henti memaki-maki Bu Asna. Bukan hanya itu, beliau bahkan memukul Bu Asna dengan kasar hingga Bu Asna terhempas dan tersungkur di lantai. Setelah Ayah Dio jauh meninggalkan Bu Asna sendiri menahan pilu, Nada mencoba mendekati Bu Asna.

“Buk..” Nada menghampirinya. Berjongkok di dekat Bu Asna yang masih duduk di lantai. Bu Asna memeluk Nada.
“Ibu nggak kenapa-kenapa kan?” Tanyanya khawatir.
“Ibu baik-baik saja, Nak. Ayah Dio memang seperti itu. Ibu hanya berusaha menyadarkannya. Mencegahnya agar tidak terlalu jauh melangkah dalam kesesatan. Tapi, apalah daya, jika alkohol itu tengah meracuni otaknya.” Sejenak suasana menjadi hening. Kemudian Nada membantu Bu Asna beranjak dan membereskan kekacauan yang baru saja terjadi.
Dio terlihat murung. Di sudut kandang merpati itu, matanya menerawang menatap hampa. Ada guratan luka yang dalam tersirat dari sorot matanya. Nada menghampiri Dio. Menyapanya lembut.
“Dio.” Seulas senyum menghiasi wajah ayu Nada. Dio menatapnya. Dan ia pun membalasnya dengan senyum pula. Namun, tak seperti biasanya. Kali ini senyumnya dingin.
“Kamu jangan sedih, Dio.” Nada membelai lembut punggung Dio. “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kamu yang selalu ngajarin aku buat tegar dan menghadapi masalah dengan tenang. Sekarang kamu pun juga harus begitu. Jangan terlarut dalam amarah dan kesedihan. Kamu bisa bangkit, Dio.”
Dio meraih tubuh Nada. Memeluknya erat. Nada tersentak. Jantungnya berdetak begitu cepat. Namun, ia tak tahu alasan apa lagi yang bisa menjelaskan. Reflek tubuhnya justru malah membalas pelukan Dio. Nada larut dalam suasana itu.
“Aku akan selalu ada di sini buat kamu Dio. Seperti kamu yang selalu ada buat aku. Seperti kamu yang selalu menjadi pendengar setiaku dan menjadi orang bijak yang membantuku menyelesaikan sekeping demi sekeping masalahku.” Dio tetap diam dan tidak sedikit pun melepaskan pelukan itu.
Ya, Dio tidak harus bicara. Karena tanpa Dio bicara pun, Nada sudah mengerti apa yang Dio rasakan. Nada tak bisa menjelaskan, ketika jantung mereka berdetak bersama, seolah ada dimensi yang menjembataninya untuk bisa merasakan apa yang Dio rasakan.
Hari-hari berikutnya, Dio masih sering termenung, melamun. Dia enggan membicarakan apa pun tentang apa yang ia rasakan. Dia hanya lebih sering menghabiskan waktunya dalam Istana Dara Dori.
         Dia hanya berusaha tegar atau lebih tepatnya berusaha terlihat tegar di depan Nada.
“Hey, Dio. Lihat nih aku baru selesai nyoba resep pudding mangga. Kamu mau nyobain hasilnya?” Nada menghampiri Dio yang tengah memberi makan penghuni Istana Dara Dori.
“Oh iya, bawa sini biar aku mencobanya.” Dio tersenyum ke arah Nada. Kemudian Nada berlari ke rumahnya dan kembali dengan membawa sepiring pudding mangga buatannya.
“Aku nggak mau makan sendiri. Sama kamu, ya.” Dio masih tetap tersenyum. Senyum yang dingin. Dia tersenyum tapi sinar matanya redup. Dia tak sepenuhnya tersenyum. Hanya mencoba terlihat bahagia di depan Nada.
“Aku suapin ya.” Goda Nada. Dio mengangguk. Wajah Nada memerah, dia terdiam.
“Katanya mau nyuapin aku? Kok malah diam?”
“Eh.. ehm.. aduh.. aku kan cuma bercanda, Dio.” Nada gugup.
“Ayolah. Kamu udah terlanjur bilang loh.” Akhirnya Nada menyuapi Dio. Walaupun sebenarnya ia sangat gugup.
“Pudding buatan kamu enak, Nad.” Senyum Dio membingkai wajah manisnya. Kali ini senyumnya penuh ketulusan. Awan mendung di mata Dio hilang. Nada merasa sedikit lega. Dia bahagia mampu membuat Dio kembali ceria meskipun mungkin hanya sesaat.
“Sekarang, ganti aku yang nyuapin kamu.” Dio mengambil sendok di tangan Nada dan mulai mengambil sepotong pudding dengan sendoknya. Kemudian mengarahkannya ke mulut Nada.
“Eh..” Nada hanya diam dan menurut.



“Nada, minggu depan kita harus pindah ke Jogjakarta. Ayah dipindah tugaskan di sana.” Bagaikan petir di siang bolong menyambar Nada yang seketika itu langsung diam mematung.
“Kenapa mendadak, Bunda? Nada senang tinggal di sini. Apa Nada tidak bisa tetap tinggal di sini? Sekolah Nada gimana?”
“Tidak bisa, sayang. Kamu mau tinggal sama siapa di sini? Masalah sekolah, semua sudah diurus Ayah. Kamu hanya tinggal mengemasi barang-barangmu.” Nada terdiam. Tak mungkin mampu ia membantah. Minggu depan ia harus meninggalkan tempat ini. Tepat di hari ulang tahun Dio yang ke-18. Terasa berat untuknya meninggalkan tempat ini. Terlalu banyak kenangan yang terukir. Semakin terasa berat ketika harus meninggalkan Dio.

         Beberapa hari ini Dio tidak pernah terlihat. Kata Bu Asna, dia tengah berada di rumah bibinya yang selama ini merawatnya. Bibinya sakit keras. Dia tidak memiliki seorang pun anak. Diolah yang selama ini ia anggap sebagai anaknya. Oleh karena itu, bibinya meminta Dio menemani beliau sekarang. Hari berganti dengan cepat. Besok Nada harus pergi. Namun, sosok Dio masih belum muncul bagai hilang ditelan bumi. Nada merasa tersiksa. Dia ingin bertemu Dio, menyampaikan bahwa ia harus pergi. Namun, Dio tiada muncul. Akhirnya, malam itu juga Nada memutuskan untuk menulis sebuah surat, merekam sebuah lagu dan membuat sepiring pudding mangga untuk Dio. Sebagai hadiah ulang tahun serta tanda perpisahan mereka. Ya, mungkin perpisahan.

         Hari masih pagi. Kabut tebal masih menyelimuti. Udara dingin menusuk kulit. Nada meletakkan sebuah kotak berbungkus kertas warna biru langit dengan motif bintang di ayunan di antara rumahnya dan rumah Dio. Entah mengapa Nada sangat yakin nanti Dio akan pulang dan menemukan kotak itu.

“Selamat Ulang Tahun, Dio.” Air mata Nada meleleh membasahi pipinya. Disekanya air mata itu dengan sapu tangan berwarna putih dengan hiasan sulaman namanya dengan benang warna biru laut di salah satu sudut sapu tangan itu. Nada Pratiwi. Ia yang menyulamnya sendiri.
“Nada, ayo cepat Nak.” Suara Ayah memecahkan kepiluan di hati Nada. Untuk terakhir kalinya ia melihat kotak itu.
“Selamat Tinggal, Dio. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Nada bergegas menuju mobil yang akan membawanya ke Jogjakarta. Tanpa sadar, ketika ia terburu-buru berlari menuju mobil, ia menjatuhkan sapu tangannya tak jauh dari tempatnya meletakkan kotak itu.



         Sesampainya di rumah, Dio segera bergegas menuju rumah Nada. Diketuknya pintu rumah Nada berkali-kali.
“Nada.. Nada..” Namun, tak ada jawaban. Rumah itu sepi tak berpenghuni. Dio yang kecewa, berjalan menjauhi rumah itu. Dia menyesal meninggalkan Nada begitu saja dan begitu lama. Tanpa pamit dan tanpa kabar. Hingga akhirnya sekarang Nadalah yang menghilang.
Dio berjalan menuju ayunan di antara rumah mereka. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kotak berbungkus kertas biru bermotif bintang. Dio menghampiri kotak itu. Di atas kotak itu ada selembar kertas bertuliskan “Untuk Dio”.
“Nada. Tidak salah lagi, ini pasti dari Nada. Nada pasti sedang membuat kejutan untuknya,” pikir Dio. Ketika ia membuka kotak itu terlihat sebuah pudding mangga, sebuah kaset dan sepucuk surat di dalamnya. Yang pertama kali ia buka adalah sepucuk surat yang ditulis dalam kertas berwarna biru langit.
“Dear Dio,
Selamat Ulang Tahun, Dio Ananta. Semoga di ulang tahunmu yang ke-18 ini kamu menjadi Dio yang lebih dewasa. Menjadi Dio yang lebih tegar. Dan menjadi Dio yang selalu ceria. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu, Dio. Semoga pudding mangga itu bisa menjadi kue ulang tahun teraneh yang kamu dapat, ya. Hehehe. Dio, sebenarnya kamu ke mana? Kamu pergi tanpa pamit, tanpa kabar. Aku mengkhawatirkanmu. Setiap hari aku menunggumu pulang. Aku rindu kamu Dio. Aku rindu bercanda bersamamu. Menghabiskan waktu bersamamu di Istana Dara Dori. Tapi, sudahlah. Aku tahu suatu saat kamu pasti kembali. Walaupun mungkin saat kamu kembali, akulah yang pergi.
Dio, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati perkataanku untuk selalu menjadi pendengar setiamu. Untuk selalu menemanimu dalam sukamu maupun dukamu. Untuk selalu memelukmu ketika kamu rapuh. Untuk menjadi orang bijak yang membantumu menyelesaikan setiap keping masalahmu yang mungkin tak pernah kamu bagi denganku. Dio, pesanku.. Anggaplah setiap masalah yang kamu alami tak lebih dari seujung kuku bila dibandingkan dengan masalah orang lain. Itulah cara kita bersyukur dengan cobaan yang kita hadapi. Tetap semangat Dio. Kamu tak pernah sendiri.
Maafkan aku.. Aku harus pergi meskipun sebenarnya aku tak ingin. Sedikitpun aku tak ingin jauh dari kamu. Kamu yang selalu memberiku semangat, membuatku tersenyum. Ada dalam setiap dukaku maupun sukaku. Pendengar setiaku. Tapi, aku tetap harus pergi. Ayah harus dinas di Jogjakarta. Aku tahu ini sangat mendadak. Dio, memang sekarang jarak dan waktu memisahkan kita. Namun, aku merasa tak pernah jauh darimu.. karena kamu.. selalu ada di hatiku. Entah sejak kapan ini berawal aku tak tahu. Dio.. aku sayang kamu.
Nada Pratiwi”

         Setitik air mata bersarang di pelupuk mata Dio. Mendesak ingin menetes. Namun, sebelum itu terjadi Dio sudah menyekanya. Bahagia. Sedih. Menyesal. Semua bercampur hingga tak ada satu kata pun terucap. Sebelum ia beranjak, ia menemukan sebuah sapu tangan dengan nama Nada Pratiwi. Digenggamnya erat. Dibawanya menuju rumah. Di rumah, ia langsung menuju kamarnya. Sesampainya di kamar. Ia memutar kaset dari kotak itu menggunakan radio tape. Terdengar suara Nada menyanyi dengan diiringi gitar.

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat lidahku gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu
Dan memaksa diri untuk bilang
Aku sayang padamu..
“Aku juga sayang kamu, Nad. Semoga kita bisa seperti sepasang merpati. Walaupun mereka dipisahkan dengan rentang jarak yang jauh, mereka pasti akan terbang dan bertemu kembali. Pasti.” Ucap Dio penuh kesungguhan. Dio yakin dia akan bertemu lagi dengan Nada suatu saat nanti. Begitu juga Nada. Mereka ibarat sepasang merpati.



Cerpen Karangan: Warastri Rezka Hardini
Blog: rezkahardini.blogspot.com
Facebook: Warastri Rezka Hardini



Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-romantis/seperti-sepasang-merpati.html

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA




Oleh W.S Rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra,

Sumber : http://www.lokerpuisi.web.id/2011/11/sajak-seorang-tua-untuk-anaknya-oleh-ws.html

CINTA TAK DIANGGAP





Oleh Elok Pradika Purnama Putry


Aku berdiri di atas sayup-sayup senja
Mencari cinta dan ketulusan yang sesungguhnya
Di keindahan gerimis senja yang memberiku setetes harapan
Aku mengenalmu karena cinta
Aku mencarimu karena cinta
Aku bersamamu juga karena cinta
Dan jika aku harus merelakanmu karena cinta, aku pun juga harus rela
Mungkin bahagiamu bukan untukku
Cintamu tak tercipta untukku
Dan hatimu tercipta hanya untuk Dia
Orang yang selalu mendapatkan perhatian darimu
Sesungguhnya aku tak pernah menyangka kau lakukan ini padaku
Kau tega menduakanku dan tak pernah mengakuiku
Apa tak pernah kau bayangkan betapa sakitnya aku tak pernah kau anggap
Sepenuhnya aku mengerti, kau tak akan bisa mencintaiku seperti kau mencintainya
Aku juga tak akan pernah memaksamu untuk kembali ke pelukanku
Karena aku tau cinta itu tak harus memiliki,
Tapi percayalah...
Sepenuh hati ini, sepenuh raga ini, hanya milikmu
Aku akan selalu mencintaimu
Hingga mata terpejam
Nafas berhenti
Jiwa meninggalkan raga
Kamu kan selalu di hatiku

Sumber : http://www.lokerpuisi.web.id/2014/06/puisi-cinta-sedih.html

INI INDONESIA KU BUKAN NEGERINYA BANGSA ASING


Ditulis oleh : Adi Sutrisno




     Indonesia mempunyai berbagai macam suku dan budaya dengan ragam bahasa dan kekayaan alam yang sangat  melimpah. Beragamnya suku dan budaya menjadikan bangsa Indonesia terkenal dengan tempat pariwisatanya baik dalam bidang budaya maupun panorama keindahan alam sehingga membuat negara Indonesia seakan-akan menjadi sebuah surga yang banyak diincar oleh parawisatawan baik dalam negeri, mancanegara, maupun internasional. Seiring dengan derasnya arus globalisasi, bangsa Indonesia seakan menjadi terlelap dengan perubahan zaman sebab banyak sekali kekayaan alam dari tanah surga yang rampas oleh bangsa asing seperti pertambangan PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) di Irian Jaya, perkebunan sawit di pulau Kalimanan, Sumatra dan Sulawesi yang sebagian besar merupakan milik perusahanan asing sedangkan bangsa Indonesia hanya bisa terdiam dan asyik menyaksikan kekayaan alam yang mereka punya dikuras oleh bangsa lain.
     Alam seakan-akan menjadi murka dengan ketidakpedulian bangsa ini sebab banyak bencana dan kekacauan yang terjadi diseluruh negeri seperti banjir, kemarau dan kekeringan yang berkepanjangan yang disebabkan karena ketidakseimbang alam dan lingkungan yang rusak akibat dari pengexploitasian sehingga membuat bumi Indonesia yang dulunya merupakan tanah surga menjadi sebuah neraka yang penuh dengan bencana dan kekacauan sosial seperti meningkatnya kasus korupsi dan tindakan kriminal lainnya.
     Kekayaan bangsa Indonesia sangat beragam, dari salah satu yang telah dipaparkan sebelumnya, bahasa daerah merupakan salah satu dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Indonesia memliki berbagai macam bahasa daerah yakni 748 bahasa daerah yang merupakan sebagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya, ini dapat dilihat dari peresentase penggunaan bahasa keseharian dalam berkomunikasi dan bersosialisai yaitu lebih dari 90% warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa daerah sebagai bahasa kesaharian mereka.
     Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia yang saat ini mulai meluntur dan kurang diminati dari banyak kalangan baik pelajar maupun masyarakat umum, ini disebabkan mulai dari kebiasaan menggunakan bahasa daerah dibandingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan yang menjadi faktor besarnya yaitu sebagian besar dari persyaratan lapangan kerja yang tersedia dan program beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah dan perguruan tinggi yang harus mewajibkan mempunyai penguasaan dalam berbahasa asing seperti Bahasa Inggris, sehingga menyebabkan kecerdasan anak bangsa dinilai dari kemampuan bisa atau tidaknya dalam penguasaan bahasa asing tanpa melihat dari skill  dan prestasi akademis yang mereka miliki. Fakta yang menjadi sebuah bukti nyata bahwa kurangnya minat dan kemapuan berbahsa indonesia dibandingkan bahasa asing dikalangan pelajar yaitu dapat dilihat dari hasil belajar siswa melalui Nilai Ujian (UN). Dalam  http://www.bisnis.com/  diberitakan, Tahun 2012 tercatat bahwa siswa SMA yang tidak lulus UN mencapai 7.579 siswa, dari 1.524.704 peserta UN. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, kebanyakan siswa jatuh di nilai Bahasa Indonesia dan Matematika.
     Meskipun Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu, namun kesadaran akan pentingnnya menjaga, dan memperdalami pelajaran Bahasa Indonesia perlu tetap ditingkatkan demi mempertahankan keutuhan dan kelestarian Bahasa Indonesia di negeri sejuta pahlawan ini. Tindakan yang dapat diterapkan yaitu menumbuhkan rasa Nasionalisme dan kesadaran diri masing-masing individu akan pentingnnya belajar dan menggunakan Bahasa Indonesia, baik dalam lingkungan berkomunikasi antarsesama maupun dilingkungan skala nasional.
     Jika hal tersebut tidak segera dilakukkan maka lambat laun Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional akan segera tersingkirkan oleh bahasa asing.
Ada sebuah pertanyaan besar untuk bangsa ini, “Ini Indonesia ku atau Negerinya bangsa asing ?” itulah yang harus kita jawab sekarang, sebab seiring dengan berkembangnya zaman dieraglobalisasi banyak sekali keadaan yang telah berubah dari negeri tanah surga (Indonesia). Negeri Indonesia soalah berubah menjadi negerinya bangsa asing sebab banyak sekali jati diri  dari bangsa Indonesia yang telah hilang, mulai dari bergesernya secara perlahan-lahan Nasionalisme bangsa Indonesia terhadap Bahasa Indonesia ke bahasa asing ( Bahasa Inggris), pengexploitasian sumber daya alam dibumi Indonesia secara besar-besaran oleh perusahaan asing dan budaya barat yang menggantikan budaya timur sehingga sekarang ini banyak sekali masyarakat Indonesia terutama pemuda-pemudi yang bergaya dan berpenampilan ala budaya barat dari sisi negatifnya membawa dampak buruk seperti meningkatnya kasus-kasus kriminal, mengundang maksiat, tindakan asusila dan lainnya.
     Saat ini banyak sekali negara-negara luar yang berusaha mempelajari bahasa Indonesia, dengan tujuan supaya dapat berbahasa Indonesia dengan baik sehingga dapat berkomunikasi dengan penduduk Indonesia. Banyak sekali penawaran kepada guru-guru dan dosen pengajar Bahasa Indonesia untuk dapat menjadi tenaga pengajar dinegeri mereka, ini menunjukan ada sesuatu yang menjadi daya tarik bangsa asing terhadap negara Indonesia. Mungkin hal tersebut merupakan sebuah informasi yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia tetapi kita sebagai bangsa Indonesia jangan segera berpuas diri dan terlarut dalam kegembiraan karena kita harus tetap memfilter Negeri Indonesia dari segala aspek, jangan sampai bangsa Indonesia ini dijajah lagi oleh bangsa asing meskipun bentuk penjajahnya secara tidak langsung dapat berupa pegexploitasian kekayaan alam, asimilasi budaya timur kebudaya barat dan sumber daya manusia di Negeri Indonesia.
     Segala bentuk kecemasan akan pergeseran budaya dan perubahan jati diri bangsa Indonesia serta pengexploitasian kekayaan yang ada dibumi Indonesia setidaknya membuat kita segera menyadari bahwa negeri ini harus segera bangkit jangan biarkan kekayan di tanah surga  diexplotasi dan oleh bangsa asing. Ini Indonesia ku, ini Indonesia kita, ini indonesia milik seluruh bangsa Indonesia bukan negerinya bangsa asing yang sekehendak kemauan mereka menguasainya. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia tetap tinggal diam dengan segala bentuk penjajahan terhadap negara Indonesia ?. Segera lakukanlah perubahan dan rebut kembali kekayaan alam yang menjadi hak milik bangsa ini sehingga anak bangsa sendiri yang nantinya mengolah hasil alam yang ada di Indonesia demi kemajuan dan kemakmuran negara tanah air Indonesia.


Sumber : https://bidangkeilmuanfisika.wordpress.com/2013/03/04/contoh-tulisan-esai-ini-indonesia-ku-bukan-negerinya-bangsa-asing/

Narkoba dan Generasi Muda



     Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan Obat/Bahan berbahaya yang telah beredar dimasyarakat perkotaan maupun di pedesaan, termasuk bagi aparat hukum. Selain Narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan RI adalah NAPZA yaitu singkatan dari Narkotika, Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko yang oleh masyarakat disebut berbahaya yaitu adiksi atau kecanduan.
     Narkoba atau NAPZA merupakan zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh, terutama susunan syaraf pusat sehingga apabila disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, jiwa dan kehidupan bersosial. Karena itulah Pemerintah melarang keras beredarnya Narkoba ini.
Mengapa NAPZA dikategorikan berbahaya?
Pertama Narkotika, Narkotika adalah zat yang berasal dari tanaman atau buatan yang apabila dikonsumsi tidak sesuai prosedur akan menyebabkan perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa sakit dan dapat menimbulkan ketergantungan pada penggunanya. Jenis Narkotika yang sering disalahgunakan adalah morfin, heroin, petidin, termasuk ganja, mariyuana, hashis dan kokain.
     Lalu Psikotropika, Psikotropika adalah zat alami maupun sintetis yang berdampak aktif terhadap kejiwaan karena pengaruhnya di susunan syaraf pusat, sehingga dapat menimbulkan perubahaan tertentu pada aktivitas mental dan perilaku pengguna. Psikotropika yang sering disalahgunakan adalah amfetamin, ekstasi, shabu, obat penenang seperti mogadon, rohypnol, dumolid, lexotan, pil koplo, BK, termasuk LSD dan Mushroom.
     Sedangkan Zat adiktif lainnya disini adalah zat yang bukan Narkotika & Psikotropika seperti alkohol atau metanol, tembakau, gas yang dihirup maupun zat pelarut.
Begitu banyak zat-zat berbahaya seperti dia atas yang beredar saat ini, entah sampai kapan trend menggunakan zat terlarang ini berlanjut. Padahal bergitu banyak dampak negatif yang ditimbulkannya, contoh kecilnya saja seorang siswa yang diberikan uang oleh orang tuanya untuk membayar SPP karena telah ketergantungan dengan Narkoba akan mempergunakan uang itu untuk membeli zat terlarang tersebut, ini jelas-jelas salah, uang yang seharusnya digunakan untuk ibadah dalam menuntut ilmu telah berpindah ke tangan yang salah.
     Ada banyak faktor yang melatarbelakangi pemakaian narkoba di kalangan remaja ini. Pertama, hilangnya makna hidup. Mereka ingin selalu dianggap eksis di tengah pergaulan, sehingga seringkali mengikuti trend serta gaya hidup lingkungan tempat mereka bergaul, yang belum tentu berpijak pada prinsip yang baik. Mereka khawatir terisolasi dari dunia pergaulan, ketika tetap berpegang teguh pada aturan-aturan normatif, serta memeluk erat nilai-nilai tradisional.
Kedua, minimnya komunikasi dalam keluarga maupun di tengah masyarakat sekitar. Hal negatif dari hubungan antarmanusia yang tidak harmonis akan melahirkan rasa sepi, sendiri, meski mereka berada di tengah keramaian. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan berdampak buruk bagi perkembangan mental dan jiwa mereka. Dalam kondisi demikian, siapapun akan rentan untuk terjerumus ke dalam perilaku negatif.
Ketiga, munculnya rasa bosan menjalani hidup. Gabungan dari hilangya makna hidup serta hubungan interpersonal yang tidak lagi hamonis mengakibatkan para pelajar yang masih usia remaja mengalami tekanan batin berupa rasa bosan. Pada akhirnya, rasa bosan ini membawa mereka untuk lari dari kenyataan hidup yang dihadapinya.
     Nah setelah mengetahui faktor yang melatarbelakangi pemakaian Narkoba, diharapkan kita tidak larut dalam trend pergaulan yang menyesatkan itu. Dan bagi mereka yang sudah tercebur ke dalam dunia narkoba, diharapkan dapat kembali sadar akan arti penting kehidupan ini, yang amat sayang jika digadaikan dengan kesenangan yang sesaat.
Maka dari itu, janganlah kita mendekati narkoba di saat keadaan yang mepet sekalipun. Marilah kita rangkul teman-teman kita yang sudah terlanjur masuk dalam lingkaran narkoba untuk bangkit keluar dari jerat narkoba.



Sumber : http://duniarakka.blogspot.co.id/2013/04/contoh-essay-tentang-narkoba.html

ISYARAT DAN WAKTU



Oleh N.N


Doa yang lebih indah dari simfoni mengalun
Mengalun lembut mengiringi kepergian sang waktu
Terkadang aku terbaring di selimuti kegelisahan
Kegelisahan tentang isyarat
isyarat yang menyampaikan tentang kematian
bahkan terkadang aku bisa mendengar angin dan ilalang menyampaikan isyarat itu
tapi sampai saat ini
aku bisa bertahan dan masih terus berperan dalam panggung yang besar ini
aku ingin terus hidup
dan menyaksikan raga ini semakin menua
aku masih ingin melantunkan simfoni dan doa yang mendefinisikan kehidupan.
Dan melihat tubuhku semakin lemah dimakan oleh sang waktu
Ku ingin mereguk empedu kehidupan yang pahit
Dan mendefinisikan semua hal hingga waktu ini berhenti
Hingga seluruh inderaku dapat merasakan surga
Bahkan saat ini aku dapat merasakan nya
Kebahagiaan saat waktu melumat tubuh dan jiwaku
Dan membuat ragaku semakin menua


Sumber : http://www.lokerpuisi.web.id/2015/06/isyarat-dan-waktu-oleh-nn.html

Jangan Kalah Dengan Air




Oleh Taseya Ghaniya


Ingin mendapatkannya
Ingin memilikinya
Harus bisa menaklukkan semua rintangannya
Harus ada tindakkan
Jangan kau diam kawan
Diam tak akan mendatangkan harapan
Janganlah banyak mengeluh
Tentang yang kau rasakan
Sehingga bahagia menjauh
Takut tuk melangkah ke depan
Kau sulit menjalani hidup
Seakan tak ada jalan
Kau langsung menyerah
Padahal masih banyak harapan
Janganlah sampai kau harus menyerah
Indah dalam pikiran
Selalu ada senyuman
Jika engkau membayangkan tercapainya impian
Kau mencoba berubah
Walaupun sangat susah
Berjuang menghadapi hal yang resah
Jika kau merasa lelah
Dengan yang kau rasakan
Selalu dengan hati gelisah
Kadang kau tak sanggup menahan
Dan ingin mengakhiri semua
Lihatlah batu yang keras
Dapat terlubangi
Hanya karena tetesan air
Dia konsisten terus meneteskan


Sumber : http://www.lokerpuisi.web.id/2015/09/jangan-kalah-dengan-air-oleh-taseya.html

DI SENJA UFUK PENGHABISAN ITU



Sore ini begitu hangat. Terdengar dari langkah kami yang menggebu badan jalan. Dan irama tawa kami yang menggetarkan suasana. Semangat kami menghalau teriknya mentari di ufuk penghabisan. Namun, hanya Ucen yang tak tersentuh euforia. Bagaimana tidak, selepas asar ini, namanya akan terpanggil sebagai peserta lomba Adzan di masjid desa. Sehingga, Ucen terlihat sangat gugup. Nampaknya, sekeras apapun kami meyakinkan padanya bahwa ia pasti bisa, sama sekali tidak menghilangkan ketidakpercayaan diri dan rasa gugup yang selalu menyelimutinya, setiap kali ia diminta maju menjawab pertanyaan guru di hadapan kelas, atau terlebih lagi dihadapkan pada lomba seperti ini.
“Sudahlah Cen, kamu tidak perlu gugup seperti itu. Kami yakin kamu pasti bisa, dan kamu juga harus yakin pada dirimu sendiri Cen, kamu berbakat Cen! Buktikanlah itu!” seruku setiap kali kulihat Ucen merasa gugup.
“Bukan itu saja Cen. Kamu kan sudah berlatih seminggu ini. Dan setiap kali Pak Ustad melihatmu berlatih, kamu sangat hebat.” Pak Ustad yang melatih Ucen pun turut menyemangati. Ucen hanya tersenyum dan mengangguk. Walau.. rasa gugup itu tak akan pergi sebelum ia menyelesaikan penampilannya, yang barangkali, telah membayangi dan membuatnya gugup sebelum tampil.
“Pak Ustad, Ipeh, Iyoh, Mad kita duduk di sini aja!” sontak kami semua setibanya di pelataran masjid, kami berebut posisi duduk di atas karpet pelataran masjid yang sudah disiapkan.
Pak Ustad memegang pundak Ucen, “Ucen kamu harus semangat. Kamu pasti bisa. Pak Ustad yakin sekali. Sekarang tunggulah di belakang panggung.” Selalu seperti itu, bahkan jelas sekali kecemasan Ucen yang menjadi-jadi di detik-detik perlombaaan.
Lomba Adzan dimulai. Inilah pertandingan antar pengajian di desa kami yang diselenggarakan setiap menjelang Ramadhan. Sangat menarik. Siapa pun yang menang dalam perlombaan ini pasti akan membawa kebanggaan bagi majelis pengajiannya. Aku sangat ingin bisa mengikuti lomba ini. Tetapi, aku lebih mempercayai Ucen untuk mewakili pengajian kami dalam kompetisi ini. Karena, sebenarnya Ucen mampu melantunkan Adzan dengan merdu, hanya saja dia tidak percaya diri. Tak mengapa, kami selalu mendukung dan berusaha menyemangatinya.
Beberapa peserta sudah tampil dan kini, giliran Ucen. Aku lihat ia berjalan naik ke panggung dengan lucu. Bibirnya komat-kamit tidak jelas, seperti layaknya berdoa ketakutan, matanya juga sedikit terpejam. Meski, kegugupan selalu datang di saat dia seperti ini, tapi itu tak masalah, karena sekarang inilah dia, “Uceeen!” Tepuk tangan dan sorak sorai kami mengiringi Ucen untuk memulai, sekaligus sedikit menepis keraguan dan gelak tawa penonton yang lain saat melihat tingkah Ucen yang aneh.
“Allahu akbar Allaaaaahhhu Akbar. Allaaaaahuu akbar Allaaaahhhu akbar..”
Benar saja, lantunan Adzan itu merdu sekali. Sama seperti pertama kali aku mendengarnya ke luar dari mulut Ucen. Bahkan lebih bagus dari yang pertama kali ku dengar.
Kala itu. Sore yang hangat, begitu terasa menyelimuti di dalam musala kecil di tengah pematang sawah. Semua murid larut dalam keceriaan. Tawa dan canda kami seolah berirama. Kecuali Ucen. Walau satu per satu dari kami akan dipanggil namanya untuk melantunkan Adzan seperti yang Pak ustad minta, bagi kami tak ada kesulitan yang dirasa, itu mudah saja kami lakukan, dibandingkan diminta melafalkan kembali hafalan surah-surah Juz Amma yang terkadang harus merem-melek saat menghafalkannya. Karena adzan sudah seperti keahlian dasar yang dimiliki anak laki-laki di desa kami.
Paling seru adalah ketika salah satu dari kami dipanggil untuk maju melantunkan adzan, maka seketika itu juga, tepuk tangan kami semua bergemuruh, dan kami semua bersorak semangat. Tetapi, ternyata tidak semua. Hanya Ucen. Yang diam dan memisahkan diri. Dia seperti terlarut dalam keseriusan yang berlebihan, ataukah ia gugup? Ketika namanya dipanggil, sorakan heboh yang mengiringi tergantikan dengan gelak tawa, karena tingkahnya sangat lucu. Bibirnya komat-kamit dan wajahnya menunduk. Tetapi itu pun sama sekali tak membuatnya larut, ia masih tertunduk nampak sekilas tegang.
Aku bingung, apa yang membuatnya gugup seperti itu? Melihat tingkahnya, siapa pun yang melihat, tak akan percaya kalau dia bisa, pikirku saat itu. Lantas siapa yang menduga, ternyata, aku benar-benar salah. Ucen sungguh luar biasa. Ia melantunkan Adzan dengan istimewa, nyaris sama seperti yang dicontohkan pak ustad atau adzan yang dikumandangkan di tv setiap maghrib tiba. Ucen berhasil melarutkan kami semua dalam keheningan. Bahkan sampai tak ada bosan mendengarkan. Hingga lafal adzan terakhir, kami dibuat tertegun.
Bahkan pak Ustad juga ikut dibuat tercengang. Ia kembali ke tempat semula. Duduk dengan santai, seolah ia telah membuang semua beban, sedangkan kami merasakan sesuatu masih mengganjal di tenggorokan, seperti ingin sekali menyorakkannya dengan bangga. Tetapi tidak. Tidak bisa, karena semestinya subhanaallah yang terlontar pada ketakjuban seperti ini. Sama seperti saat ini, kami kembali dibuat tertegun dan berdecak kagum dengan haru. Para juri hampir diam tanpa komentar kecuali subhanallah yang terlontar.
Pemenang lomba akan segera diumumkan. Kami semua larut dalam kecemasan, berharap Ucenlah yang akan dipanggil sebagai pemenang. Namun, Ucen yang duduk di sampingku seusai tampil tadi, terlihat berbeda. Ia tidak cemas layaknya kami yang mengharap piala itu bisa sampai diletakkan di lemari usang musala sebagai pemanis di sudut ruang. Ku tanya dia, kenapa? Ia hanya menjawab santai, “Aku tidak butuh menang. Menghilangkan rasa gugup itu dengan tampil baik sudah cukup. Walau aku juga menginginkan lebih. Menang menjadi berharga bagiku. Tapi tak akan bisa diraih tanpa Pak Ustad…” Ia menghela napas dan tersenyum.
“dan juga teman-teman semua yang membuat ini semua sungguh berarti bagiku.” kami semua ikut tersenyum mendengarnya.
“pemenang lomba adzan tahun ini adalah Uceennn!”
“Ucen kamu menang Cen, Alhamdulillah..”
Kami semua sangat bersyukur dan bangga padanya. Ucen memenangkan perlombaan. Sukses membuat orang-orang yang sebelumnya menertawakannya menjadi tercengang dan takjub padanya. Semua orang bersorak bangga. Decak kagum dan tepukan tangan tak surut tertuju pada Ucen. Bahkan lebih dari waktu itu, di musala. Semua orang harus tahu, seolah itulah makna dari ini semua. Semua orang harus tahu. Bahwa setiap dari kita pasti punya kemampuan yang lebih besar dari yang hanya orang lain katakan. Dan biarlah rasa takut itu mendorong kita untuk semakin besar berkembang hingga bisa melawan ketakutan itu.


Cerpen Karangan: Elmira Fay
Blog: elmirafairuz26.blogdetik.com



I’M HERE FOR YOU

Sudah lama memang, tapi aku belum bisa melupakanmu. Seharusnya aku tidak boleh seperti ini. Tapi, mungkin jika saja aku menahanmu dulu, mungkin kamu tidak akan pergi. Aku meletakkan mawar merah yang ku bawa di sebuah bangku taman. Lalu angin lembut menyapaku, perlahan melewati diriku. Mungkinkah ini dirimu? Dan sekarang aku masih di sini, di taman belakang sekolah, tempat terakhirku melihat senyum manismu. Rasanya masih sama. Menyakitkan.
Memoriku kembali memutar detik-detik itu, air mataku perlahan turun. Sakit membayangkan dirimu, bahkan untuk membayangkan mata cokelat indahmu, tampannya wajahmu dan baiknya dirimu. Aku menunduk, menikmati rasa rindu yang menyelimuti hatiku. Tapi aku terus membayangkan dirimu berada di sampingku menggenggam erat tanganku dan tersenyum manis kepadaku. Dan aku tau itu tidak akan mungkin lagi. Tidak akan pernah.
“Ada apa denganmu?”
Pertanyaan itu mengagetkanku. Buru-buru aku menghapus air mataku, karena aku tahu, dari suaranya, orang yang berada di depanku sekarang bukan orang asing. Ya, dia teman sekelasku.
“Eh… tidak, tidak apa-apa”
“Yakin? Matamu terlihat merah. Kau menangisi Cross lagi?” Tatapannya tajam, dengan cepat aku mengalihkan pandanganku darinya.
“Kamu masih nunggu dia? Sampai kapan? Sampai dia balik?” Sudut bibir kirinya terangkat. Dan dia memutar bola matanya.
“Sampai kapan pun Cross gak akan balik ke dunia kita Irin.. ”
Aku menggenggam liontin kalung yang ku pakai, kalung itu dari Cross, ada huruf ‘I’ dan ‘C’ di liontinnya, dia memberikan itu sebelum dia pergi.
“Aku tau Nick.. tapi, aku mencintainya” air mataku menetes lagi. Nick memelukku, di sini, di tempat yang sama saat Cross memelukku setahun yang lalu sebelum dia benar-benar pergi.
“Dia berjanji akan kembali dan menemui ku di sini, di tempat aku melepasnya pergi ke Australia. Dia tidak mengizinkanku untuk mengantarkannya sampai bandara. Dan dia tidak menepati janjinnya, dia.. dia gak kembali, dia gak akan pernah menemuiku di sini” Aku terisak di pelukan Nick.
Rasanya masih sakit mengingat saat aku mendapat kabar bahwa Cross mengalami kecelakaan pesawat. Hatiku seperti disayat-sayat. Bahkan terasa hancur. “Sudahlah Rin, jangan seperti ini, percayalah Cross sudah tenang di sana. Kau harus mulai bangkit. Aku yakin perlahan kamu akan bisa melupakan Cross.” Nick melepaskan pelukannya dan mengusap air mataku. Entah mengapa, aku merasa tenang setelah Nick memelukku. Lalu dia pergi begitu saja, sebelum aku sempat berterima kasih atas pelukannya.
“Ting..” bel rumahku berbunyi. Aku segera turun untuk membuka pintu. Rupanya sahabatku, Sheril, gadis feminim cantik berkulit eksotis, bermata cokelat senada dengan warna rambut bergelombangnya.
“hai Rin, biasa, aku mau pinjam buku catatan mapel Ipsmu, aku ketinggalan materi”
Tidak heran, dia sudah sering ketinggalan materi, dia selalu dipilih untuk mewakili sekolah di ajang olimpiade sains. Dia sangat pintar, wajar bila banyak adik kelas di sekolahku menyukainya.
“oh, tentu. Ayo masuk, biar ku carikan dulu bukunya.” aku langsung mengajak Sheril menuju kamarku untuk mencari buku yang akan dipinjamnya. Tidak sengaja sikuku menyenggol tumpukan buku di sebelahku. Lalu beberapa lembar foto jatuh perlahan dari salah satu buku. Tanpa basa-basi aku langsung mengambil foto-foto itu. Aku melihatnya.
‘glek’.
Aku terdiam.
“Apa itu?”
Sheril melihat apa yang ku pegang. “Rin…” suaranya melemah seperti menyesal.
“Aku tidak apa-apa, lagi pula ini hanya foto-fotoku dan Cross. Aku tidak akan sedih”
Aku tersenyum mencoba menutupi rasa sedih dan rasa rinduku yang merajalela ini ketika melihat saat-saat indah ku bersama Cross. Foto-foto ini memang sengaja ku letakkan di dalam sebuah buku karena aku selalu menangis melihatnya. Tapi kali ini aku kuat menahan air mata. Aku langsung menyimpan foto-foto itu lagi dan kembali pada tujuan awalku. Seiring dengan bergantinya waktu, aku terus mencoba untuk dapat menerima perginya Cross, tapi aku putus asa, karena sudah setahun aku mencobanya tapi tetap saja aku tidak bisa menerima kenyataan. Tapi di samping itu semua, aku merasa bahwa Nick dan aku mulai dekat. Entah ini perasaanku saja atau apa, tapi yang jelas kita semakin dekat.
Sore itu, aku dan Sheril pulang sekolah diantar Nick dengan mobil warna merahnya. Nick memilih mengantarkan Sheril duluan, entah mengapa, padahal rumah Sheril lebih jauh dari rumahku.
Beberapa saat setelah Sheril turun dari mobil tidak ada percakapan antara aku dan Nick. Lalu Nick mulai bicara.
“Kamu mau langsung pulang atau ke mana dulu?”
Kebetulan saat itu aku memang ingin ke toko bunga untuk membeli mawar merah lalu pergi ke makam Cross.
“Sebenarnya aku mau ke toko bunga dulu, lalu aku mau ke makam.”
“Sudah ku tebak”
Dia mengatakan itu sambil tersenyum padaku, sangat tampan dan manis. Aku berlutut di samping salah satu makam dan meletakkan sekuntum mawar merah lalu menyiramkan air di atas batu nisannya. Di batu nisan itu tertulis nama Cross. Lagi-lagi aku menangis, aku benar-benar mencintainya. “Jangan nagis lagi Irin…” Kata Nick sembari mengelus rambutku dengan lembut. Aku memang selalu menangis jika teringat hal-hal tentang Cross. Lalu Nick menarik tanganku sampai aku berdiri lalu dia memelukku dan mengatakan, “Rin aku mencintaimu, aku ingin kamu melupakan Cross dan mulai mencintaiku. Aku ingin dirimu ada di sampingku, menemaniku di sisa hidupku ini. Hidupku akan berakhir dalam waktu singkat.”
Aku merasa tenggorokanku seperti tercekat mendengar apa yang dikatakan Nick, mungkin itu karena sebenarnya aku merasakan hal yang sama kepadanya. Mencintainya.
“Apa maksudmu berkata seperti itu? aku tidak mengerti”
“tenang saja, kamu akan mengerti sendiri nanti”
Nick mencium keningku dan mengantarkanku pulang. Aku masih tidak mengerti apa maksud dari perkataan Nick tadi. Setelah kejadian itu, aku menjadi tidak seperti biasanya kepada Nick. Sikapku menjadi dingin, entah mengapa aku bersikap seperti ini. Mungkin karena aku takut semakin mencintainya dan kehilangannya juga seperti aku kehilangan Cross.
Hari itu Nick mengajakku ke taman belakang sekolah. Dia menyodorkan sepucuk surat.
“Dari Cross, dia menitipkan surat ini sebelum dia pergi ke bandara.” kata Nick sambil memberikan surat itu padaku.
“Surat untukku? dari Cross?”
“iya, dan maaf baru sekarang aku memberikannya kepadamu. Seharusnya sudah ku berikan beberapa bulan lalu saat hari ulang tahunmu.”
“lalu, mengapa baru sekarang kau berikan?”
“maafkan aku Rin, aku melakukan ini karena aku mencintaimu” tangannya meraih tanganku tapi segera ku tepis. Aku langsung menyambar surat itu dan pergi menjauh dari Nick karena air mataku sudah mulai mencair. Aku kecewa Nick. Setelah pulang sekolah dan sampai di rumah, aku langsung menuju kamarku dan mengunci pintu. Ku buka perlahan, kertas itu terlihat sudah lama sekali tertekuk. Aku menarik napas sebelum membacanya. Menyiapkan mentalku.
“Hai sayang… mungkin sekarang saat kamu membaca surat ini, kamu kecewa kepadaku. Maafkan aku, aku tidak bisa menepati janjiku untuk kembali dan menemuimu lagi. Aku tidak tahu kenapa aku merasa tidak akan bisa kembali untukmu. Tapi tidak perlu takut sayang.. aku telah meminta Nick untuk menjagamu saat aku tidak bisa menjagamu. Aku percaya kamu akan bahagia dengannya. Dan ku mohon padamu, jangan pernah menangis kalau aku tidak dapat berada di sampingmu lagi. Maafkan aku sayang.. aku mencintaimu.”
“Cross..” Suaraku gemetar, air mataku meleleh dan jatuh di atas surat dari Cross. Ku dekap erat surat itu. Aku merasakan hadirnya di sini.
“Seharusnya sekarang kau di sini Cross… Seharusnya sekarang kau yang di sini…” Aku menangis sesenggukkan.
Aku memang mencintai Nick, tapi kau harus tahu Cross, aku selalu menunggumu kembali, dirimu adalah kekasihku dan tidak akan pernah terganti sampai kapan pun. Aku akan terus bertahan walau hanya berteman bayangmu. Beberapa hari aku setelah itu, tiba-tiba aku mendapat kabar dari salah satu teman sekelasku bahwa sekarang, Nick, telah pergi. Oh Tuhan, jangan lagi. Aku merasa seperti sesak di dadaku dan rasanya hatiku seperti hancur berkeping-keping. Mengapa? Mengapa harus orang-orang yang aku cintai? apa salahku hingga Tuhan mengambil orang-orang yang ku cintai.
“Nick!!” Aku berteriak putus asa. Aku berlutut di samping sebuah makam. Namun sekarang di batu nisannya tertulis nama Nick.
“Maafkan aku Nick… aku memang mencintaimu, tapi aku selalu setia kepada orang yang ku tunggu.”
Sekarang dua orang yang ku cintai telah berada di alam yang berbeda denganku. Memang sakit melihat keduanya pergi, tapi aku harus kuat. Aku harus mencoba merelakan keduanya.
Dua tahun berselang setelah kematian Cross, dan setahun setelah kematian Nick. Akhirnya aku bisa merelakan mereka berdua pergi, aku jugamulai melupakan cintaku kepada Nick. Dan sekarang bukan air mata yang hadir saat aku mengenang Cross, tapi senyum, senyum untuk menunjukkan bahwa cintaku tidak akan hilang walaupun setelah kematian Cross. Dan aku juga masih di sini Cross, di tempatmu dulu berjanji padaku untuk kembali. Tapi aku di sini bukan untuk menangis menunggumu atau untuk menangisi kepergianmu, melainkan untuk tersenyum mengenangmu. Aku semakin tersenyum karena saat aku mengenangmu di tempat ini, angin yang lembut menyapaku. Dan aku merasakan hadirmu Cross, aku merasakan dirimu memelukku.
Jika memang kau hadir di sini sekarang, ku ingin kau melihat senyum manisku ini. Aku juga ingin kau tahu bahwa mulai sekarang, saat aku mengingatmu, senyum ini tidak akan beranjak pergi dari wajahku, untukmu. Aku akan selalu tersenyum saat aku merindukanmu, dan ku harap kau akan datang menyapaku seperti saat ini. Aku akan selalu di sini Cross, aku selalu di sini. Dan terima kasih Cross, terima kasih telah menjadikan aku sebagai kekasih terakhirmu.


Cerpen Karangan: Alfinatuz Zuhro HildaFacebook: Alfinatuz Zuhro Hilda




 
Ice Cream Blogger Template by Ipietoon Blogger Template